Revisi UU TNI 2025: Implikasi bagi Supremasi Sipil dan Kontrol Militer
![]() |
Foto : Kompas |
EKSEMPLAR.COM – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Keputusan ini menuai pro dan kontra, terutama terkait isu supremasi sipil dan kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI.
Meski DPR menegaskan bahwa revisi ini tetap mengedepankan supremasi sipil, sejumlah perubahan dinilai melemahkan kontrol sipil terhadap militer.
Perubahan Krusial dalam Revisi UU TNI
UU TNI yang baru memuat tiga perubahan utama:
Operasi Militer Selain Perang (OMSP): Perubahan dalam Pasal 7 menghapus ketentuan bahwa OMSP harus didasarkan pada keputusan politik negara. Kini, OMSP dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres), yang berpotensi menghilangkan kontrol DPR dalam pengerahan militer untuk operasi non-perang.
Penempatan Prajurit di Jabatan Sipil: Perubahan dalam Pasal 47 memungkinkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil tanpa harus pensiun. Hal ini dikhawatirkan dapat membuka celah bagi praktik dwifungsi TNI seperti pada era Orde Baru.
Masa Dinas Prajurit: Pasal 53 mengatur perpanjangan usia pensiun bagi prajurit. Usia pensiun perwira pertama dan menengah diperpanjang dari 55 tahun menjadi 58 tahun, sementara perwira tinggi dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Langkah ini bertujuan untuk mempertahankan pengalaman prajurit senior dalam menghadapi tantangan pertahanan.
Kontroversi dan Dampak terhadap Supremasi Sipil
Peneliti dari Pusat Riset Politik BRIN, Diandra Mengko, menilai perubahan pada Pasal 7 sebagai yang paling mengkhawatirkan.
Dengan hilangnya keputusan politik negara dalam OMSP, otoritas sipil dalam pengerahan pasukan menjadi lemah.
Keputusan terkait OMSP yang sebelumnya harus melalui persetujuan DPR kini hanya memerlukan Perpres atau PP, memberikan kewenangan lebih besar kepada TNI.
"Supremasi sipil harus tetap dijaga, karena tanpa kontrol yang ketat, proporsionalitas dan fokus militer bisa terganggu," kata Diandra. Menurutnya, ketentuan baru ini dapat menjadi celah bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil di luar tugas pertahanan.
Publik juga menyoroti perubahan pada Pasal 47 yang membuka peluang lebih luas bagi prajurit aktif untuk menempati jabatan sipil.
Hal ini mengingatkan pada dwifungsi TNI di masa lalu, di mana militer memiliki peran ganda dalam pemerintahan dan birokrasi.
Respons DPR dan Pemerintah
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono menegaskan bahwa DPR tetap memiliki peran dalam pengawasan OMSP.
“OMSP tetap akan diawasi melalui rapat-rapat kerja dengan DPR, di mana hasil operasi militer akan dilaporkan secara berkala,” ujarnya.
Ketua DPR Puan Maharani juga menekankan bahwa revisi ini telah melalui proses yang transparan. “Kami sudah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk supremasi sipil dan demokrasi. Revisi ini tidak bertentangan dengan prinsip tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin membantah bahwa revisi UU TNI akan membawa kembali dwifungsi TNI.
Ia mengimbau masyarakat untuk memahami undang-undang ini secara menyeluruh sebelum menarik kesimpulan yang salah.
Revisi UU TNI 2025 membawa perubahan signifikan dalam hubungan sipil-militer di Indonesia.
Meskipun pemerintah dan DPR meyakinkan bahwa revisi ini tetap menjunjung supremasi sipil, beberapa pasal baru membuka ruang bagi militer untuk memiliki peran lebih besar di luar tugas pertahanan.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus mengawasi implementasi undang-undang ini guna memastikan tidak adanya penyalahgunaan yang dapat mengancam demokrasi dan supremasi sipil.***