Notification

×

Iklan

Iklan


Mengenang Kejayaan Tenun Gedogan, Simbol Budaya yang Terancam Punah

Kamis, 31 Oktober 2024 | Oktober 31, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-31T15:51:44Z
Mengenang Kejayaan Tenun Gedogan, Simbol Budaya yang Terancam Punah


Indramayu, Eksemplar.com – Tenun gedogan menjadi bagian penting dalam warisan wastra Nusantara, khususnya di Kabupaten Indramayu. 


Pada zaman dahulu, sebelum Indonesia merdeka, kain hasil tenun gedogan menjadi sandang utama bagi masyarakat setempat. 


Tradisi menenun yang penuh nilai budaya ini diwariskan dari generasi ke generasi, terutama di desa-desa sekitar Kecamatan Juntinyuat.


Namun, kini warisan tersebut terancam punah. Hanya ada satu penenun tradisional di Indramayu yang masih aktif membuat tenun gedogan dengan peralatan tradisional, yaitu Sunarih, seorang nenek berusia 70 tahun dari Desa Juntikebon. 


Sunarih adalah benteng terakhir yang menjaga warisan budaya ini tetap hidup di tengah perkembangan zaman dan persaingan dengan tekstil pabrikan yang lebih modern dan murah.


Perjuangan Seorang Penenun, Melestarikan Warisan Budaya


Di rumah Sunarih, suara "gedog-gedog" dari alat tenun tradisional menjadi pemandangan langka di desa yang semakin sunyi dari aktivitas menenun. 


Dengan penuh kesabaran, Sunarih merangkai benang, membentangkan, dan mengencangkan kain tenun menggunakan alat yang diwariskan turun-temurun dari keluarganya.


Setiap helaian benang yang dipadatkan menjadi kain adalah simbol dedikasi dan ketekunan. Sunarih mengaku mempelajari teknik menenun sejak usia tujuh tahun dari ibunya. 


“Kalau dulu, setiap hari menenun. Sekarang, saya buat pesanan orang,” ujar Sunarih. 


Meski tidak lagi banyak peminat, hasil tenun gedogan dengan motif tradisional seperti songket babaran, kembang pacar, dan mata baru masih memiliki daya tarik tersendiri.


Upaya Pelestarian Tenun Gedogan Indramayu


Berbagai motif dalam tenun gedogan memiliki makna budaya dan sejarah tersendiri. 


Misalnya, motif kluwungan yang berkaitan dengan tradisi kelahiran atau motif poleng mentisa yang menjadi simbol kebesaran kepala desa. 


Makna-makna ini memperkaya nilai estetika dan budaya dari setiap helai kain yang dihasilkan.


Namun, keterbatasan sumber daya dan persaingan dengan kain modern membuat tradisi ini kian terpinggirkan. 


PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VI Balongan berinisiatif melestarikan tenun gedogan dengan memberikan bantuan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang lebih ergonomis melalui program CSR. 


Sejak alat ini diberikan, beberapa warga mulai tertarik belajar menenun di rumah Sunarih. 


Alat baru ini dirasa lebih nyaman dan tidak membuat penenun cepat lelah, dibandingkan alat lama yang membutuhkan posisi duduk lesehan.

“Saya senang banyak teman belajar menenun lagi,” ujar Sunarih. Kini, suara gedog-gedog tidak hanya terdengar dari alat tenun lama miliknya, tetapi juga dari alat-alat baru yang disediakan.


Masa Depan Tenun Gedogan


Menurut Andromedo Cahyo Purnomo dari KPI RU VI Balongan, dukungan terhadap pelestarian tenun gedogan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekayaan budaya mereka. 


Selain itu, adanya inisiatif untuk membentuk kelompok penenun atau koperasi diharapkan dapat membantu pemasaran kain tenun gedogan secara berkelanjutan. 


Langkah ini menjadi upaya menyelamatkan budaya dan warisan leluhur yang kini berada di ambang kepunahan.***